Sunday, October 7, 2012

WISATA-BADUY RANGKASBITUNG

Budaya Masyarakat Baduy rangkas bitung

Kawasan yang dihuni masyarakat Baduy di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, saat ini terancam terdesak oleh perkebunan kelapa sawit. Perilaku dan budaya masyarakat Baduy perlu dilindungi. Kawasan yang dihuni masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar harus dijadikan cagar budaya yang tidak boleh disentuh oleh kepentingan apa pun, ujar Sosiolog Raidwan Saidi yang dahulu lebih dikenal sebagai politisi/anggota DPR RI dari PPP.

Masyarakat Baduy pada hakikatnya sangat terbuka terhadap masyarakat lain yang ingin mengunjungi kawasan permukiman mereka. Tentu saja harus menaati larangan yang ditentukan masyarakat tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian budaya dan lingkungan masyarakat Baduy tersebut, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam.

Larangan tersebut ialah membawa radio dan perangkat elektronika lainnya, membawa alat musik dan memainkannya, membawa senapan angin, menangkap dan membunuh binatang yang ditemui dalam perjalanan, membuang sampah sembarangan termasuk puntung rokok, meninggalkan api bekas masakan, menebang dan mencabut pohon, membawa dan mengonsumsi minuman keras, menggunakan sabun dan pasta gigi jika mandi di sungai, serta mengambil gambar/ memotret.

Memotret atau mengambil gambar diperkenankan hanya di Baduy Luar. Itu pun terbatas pada tempat-tempat tertentu, dan harus sepengetahuan tokoh masyarakat Baduy Luar.

Menurut Jaro Dainah, larangan-larangan tersebut tidak boleh dilanggar. “Orang yang masuk ke sini mesti menaatinya,” tuturnya bersungguh-sungguh. Aturan atau pantangan yang begitu banyak itu berasal dari agama leluhur mereka, yaitu Sunda Wiwitan.

Salah satu tempat tinggal masyarakat Baduy ialah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Di desa ini, tinggal Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Bila ingin menuju ke permukiman Baduy Dalam, harus melewati permukiman Baduy Luar di Desa Kanekes ini.

Desa ini dipimpin oleh kepala desa atau disebut jaro. Kepala desanya bernama Dainah. Jadi lebih dikenal dengan sebutan Jaro Dainah. Kepala desa yang dalam kesehariannya mengenakan pakaian adat serba hitam dengan tutup kepala hitam pula, mudah ditemui.

Layaknya juru penerang atau guide, Dainah tak merasa enggan untuk memberikan penjelasan yang dibutuhkan setiap orang yang ingin masuk wilayahnya hingga ke jantung wilayah Baduy Dalam.

Tidak Sulit
Menuju ke kawasan permukiman Baduy tidak sulit. Bisa ditempuh dari Jakarta menggunakan kendaraan pribadi. Melewati jalan tol dari Jakarta menuju Serang, keluar di pintu Tol Cikupa. Kemudian menuju ke Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Paling tidak memerlukan waktu empat jam dari Jakarta untuk sampai ke Rangkasbitung.

Di Kota Rangkasbitung, ada dua penginapan berkapasitas sekitar 100 kamar bertaraf melati. Penginapan yang dilengkapi berbagai fasilitas yang cukup memadai, seperti kolam renang dan ruang pertemuan, ini bertarif Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per malam.

Untuk dapat menemui masyarakat Baduy yang terdiri dari Baduy Luar dan Baduy Dalam, dari penginapan menuju Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, hanya memakan waktu sekitar 45 menit dengan kendaraan pribadi. Bagi yang ingin menggunakan angkutan umum juga tersedia bus ukuran 3/4.

Memasuki kawasan Desa Kanekes, pengunjung terlebih dahulu akan menemui beberapa rumah dan kios-kios kecil yang berada di bibir lorong yang cukup lebar. Di desa ini terdapat lapangan beraspal yang cukup luas. Di tengah lapangan luas yang digunakan untuk lahan parkir kendaraan, dan juga berfungsi sebagai terminal angkutan umum ini, terdapat patung sepasang orang Baduy lengkap dengan beberapa peralatan untuk bercocok tanam.

Sementara kios yang ada di seputar lapangan beraspal dan di sepanjang jalan batu bersemen menuju kawasan penduduk Baduy Luar, menjajakan berbagai benda cendera mata, baik khas Baduy maupun kain batik. Selain itu, ada pula kios yang merangkap sebagai tempat menjahit pakaian khas Baduy serta menjual kebutuhan sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako), seperti gula, kopi, minyak goreng dan garam.

Setelah berjalan kaki sekitar satu kilo meter ke dalam, akan terlihat sebuah tugu yang berdiri tegak di atas lahan seluas sekitar 100 meter persegi.

Untuk melewati tugu tersebut pengunjung harus menaiki anak tangga (undakan) yang cukup tinggi dan terjal. Di balik tugu tersebut mulai terlihat rumah-rumah adat Baduy. Penghuni rumah-rumah yang beratap daun lontar dan berlantai kayu berbentuk rumah panggung itu, adalah masyarakat Baduy Luar.

Di beberapa rumah, tampak beberapa orang perempuan tengah menenun dengan peralatan tenun tradisional sederhana untuk membuat selembar kain sarung dan kain bahan pakaian yang umumnya berwarna gelap. Kain sarung hasil tenun kaum perempuan Baduy Luar dijual dengan harga antara Rp 20 ribu hingga Rp 40 ribu per lembar.

Tidak sulit berkomunikasi dengan masyarakat Baduy Luar yang memang sudah akrab dengan pola hidup masyarakat pada umumnya. Meski begitu tidak terdengar suara radio dan televisi. Bahkan, listrik hanya tersambung hanya sampai di tugu atau beberapa ratus meter dari pondok sebuah keluarga Baduy Luar yang terdepan. Yang terdengar suara kicau burung dari pohon rindang yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.

Hutan alam yang masih lestari diwarnai dengan kicauan burung yang bebas berlompatan di atas dahan, merupakan salah satu keindahan yang dimiliki masyarakat Baduy.

Baduy Dalam
Baduy Dalam terdiri dari tiga kampung yang dianggap keramat, yaitu Cibeo, Cikesik, dan Cikartawana. Ketiga kampung ini dihuni sekitar 500 orang. Warga ketiga kampung itu disebut “Urang Kejoron” atau Baduy Dalam. Masing-masing kampung dipimpin oleh Puun, pimpinan agama dan adat Baduy. Mereka memimpin secara turun-temurun. Mereka tinggal di tiga kampung tersebut.

Untuk menemui masyarakat Baduy Dalam, pengunjung harus melakukan persiapan fisik yang memadai. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Waktunya setengah hari sendiri. Itupun kalau tanpa istirahat. Kalau terlalu banyak istirahat maka waktunya lebih dari delapan jam.

Bila dalam perjalanan pulang, hari telah malam maka tamu tidak diperkenankan bermalam di permukiman Baduy Dalam. Bila terpaksa maka harus membawa perlengkapan sendiri untuk bermalam di jalan.

Jalan setapak untuk masuk ke wilayah Baduy Dalam sangat licin meski matahari menyengat bumi. Kewaspadaan juga harus tetap terjaga ketika meniti jembatan-jembatan bambu yang pada umumnya cukup licin, yang menghubungkan wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.

Pemandangan menuju ke Baduy Dalam ialah berupa hutan dengan pepohonan rindang menjadi atraksi yang indah. Sesekali di hutan yang sunyi terdengar beberapa anak kecil tengah bercanda ria sembari mencari ranting-ranting kering dan membabat rumput serta tumbuhan parasit yang menjalar di batang pohon besar.

Kayu dan ranting kering akan digunakan untuk memasak, sedangkan daun-daun segar yang dikumpulkan untuk pakan ternak kambing yang milik mereka.

Suka Bergaul
“Kami suka berkenalan dan bergaul dengan anggota masyarakat lainnya,” tutur Djuli, pemuda Baduy Dalam yang tengah berkunjung ke rumah kerabatnya di tepi Desa Kanekes.

Djuli yang mengenakan stelan pakaian khas Baduy Dalam berwarna serbahitam dengan ikat kepala berwarna putih sengaja keluar dari desanya untuk berjualan beberapa barang kerajinan, seperti topi dan tas yang dibuat dari akar pohon.

Dia mengakui untuk mencapai tepi desa Kanekes, dia harus menempuh perjalanan selama hampir empat jam dari tempat tinggalnya. Pemuda berkulit putih dan berperawakan sedang itu, menemui serombongan guru Sekolah Lanjutan Tingkat Atas bersama rombongan dari Kantor Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang berkunjung ke desa Kanekes.

Dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar, ia menunjukkan sebuah kartu nama seorang pimpinan perusahaan yang berkantor di gedung BRI, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta.

Kartu nama itu diperolehnya ketika pimpinan perusahaan itu berkunjung ke tepi desa Kanekes beberapa waktu silam. Djuli mengaku dirinya memperoleh pesanan beberapa potong kain sarung dan pernik-pernik lain hasil kerajinan orang Baduy Dalam. Untuk memenuhi permintaan itu, Djuli pernah berkunjung ke Jakarta beberapa kali dengan berjalan kaki.

“Dari tempat saya tinggal sampai ke Jakarta, dibutuhkan waktu selama dua hari jalan kaki,” katanya sambil tersenyum.

Djuli tidak hanya sekali, tetapi sampai dua kali mengunjungi sahabatnya di Jakarta itu.

Dalam melakukan perjalanan, menurut pengakuan Djuli, ia tak merasa khawatir kehabisan bekal makanan atau kesulitan tempat menginap. “Saya selalu dapat tumpangan menginap dari kawan-kawan yang ditemui di perjalanan,” tuturnya.

Masyarakat Baduy Dalam memang sangat bersahaja, mereka memegang teguh petuah dan aturan yang telah turun-temurun dianut mereka. Larangan menggunakan kendaraan bermotor, misalnya, masih terus dipatuhi hingga saat ini. Masyarakat Baduy pada dasarnya memeluk agama Islam.

Utamakan Kejujuran
Komunitas masyarakat Baduy yang tinggal di pegunungan Halimun dengan ketinggian 1.929 meter dan Gunung Kendeng dengan ketinggian 2.764 meter di atas permukaan laut, menurut Peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Bandung, Nandang Rusnandar, berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli baik asing maupun dalam negeri yang dilakukan sejak tahun 1832 hingga saat ini, menunjukkan masyarakat Baduy amat terbuka untuk menerima kehadiran siapa pun di lingkungan.

Penelitian yang dianggap paling sempurna mengenai masyarakat ini, lanjutnya, adalah yang dilakukan oleh Kementerian P dan K tahun 1959 dengan tenaga pelaksana Surya Saputra yang ditulis dalam sebuah buku sebanyak 13 jilid.

Masyarakat Baduy, lanjut Nandang Rusnandar yang berbicara dalam acara “Jelajah Budaya” yang diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata akhir Juni lalu, menurut penelitian itu adalah masyarakat yang mengutamakan kejujuran seperti anak-anak, menjunjung tinggi harkat manusia, kehidupan selaras dalam keluarga, dan memiliki toleransi tinggi yang muncul sebagai naluri.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Nandang Rusnandar membantah munculnya kelompok masyarakat Baduy Luar sebagai akibat sanksi yang dijatuhkan akibat pelanggaran.

“Masyarakat Baduy Luar muncul karena pilihan sendiri. Biasanya disebabkan keinginan untuk ikut berkembang seperti masyarakat lain di luar Baduy. Artinya, tidak tahan dengan aturan-aturan yang mesti ditaati,” tuturnya.

Pelanggaran adat, menurut dia, diselesaikan secara adat yang umumnya berakhir dengan musyawarah dan untuk mencapai mufakat. Tetapi bila masalah yang dihadapi menyangkut tindak kriminal. Kepala Adat (Jaro) melaporkannya kepada Polisi. Masyarakat Baduy memang menjunjung tinggi aturan yang berlaku,” kata Nandang Rusnandar yang ketika berbicara mengenakan pakaian khas Baduy.

Menyinggung tentang asal masyarakat Baduy, dia mengatakan, berdasarkan beberapa hasil penelitian, masyarakat Baduy merupakan pendatang yang berasal dari Banten Girang, yang sengaja mengasingkan diri akibat kejaran dari pihak yang menyebarkan agama Islam. “Jika kita berbicara secara jujur, masyarakat Baduy adalah asli penduduk setempat,” tambahnya.

Mereka menerangkan bahwa mereka adalah orang Sunda asli. Dan lagi mereka tak mau menyebut dirinya sebagai orang Baduy tetapi orang Kanekes atau orang Rawayan seperti nama sungai yang melintas di daerah mereka.

Tidak Layak DTW
Sosiolog dan Peneliti Enjat DJ mengatakan, Baduy Dalam tidak layak dijadikan daerah tujuan wisata (DTW), “Meski membuka diri, mereka tidak pantas dijadikan tontonan. Kami juga merasa khawatir bila daerah mereka dijadikan daerah wisata kelestarian alam yang hingga kini mereka jaga dengan baik bisa menjadi rusak,” tandasnya.

Enjat DJ menyatakan, suku Sunda Wiwitan ini memiliki peninggalan tradisi megalitik. Peninggalan itu berupa punden (sebuah bangunan yang dipuja dan dikeramatkan) berundak (beranak tangga) ialah Punden Berundak Arca Domas, Punden Berundak Sangka Kosala, Punden Berundak Lebak Sibedug dan Punden Berundak Batu Geong Citaman.

Menurut pengamatannya, Punden Berundak Lebak Sibedug yang terletak di pinggiran Kampung Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Lebak hanya sesekali dikunjungi oleh orang-orang Baduy. Hal serupa juga terjadi pada Punden Berundak Sangka Kosala yang terletak di kampung Lebak Sangka, Desa Lebak Gedong, Kecamatan Cipanas.

“Meski begitu mereka yakin kedua punden berundak tersebut memiliki kaitan erat dengan mereka. Punden berundak yang masih dihormati masyarakat Baduy adalah Arca Domas. Arca ini masih dijaga hingga saat ini,” tutur Enjat DJ.

Punden Berundak Arca Domas yang terletak di sebelah Selatan Kampung Cikesik, merupakan bangunan punden berundak yang memiliki 13 undakan di tingkat paling atas terdapat sebuah batu tegak berukuran besar. Batu tersebut dipercaya sebagai lambang Batara Tunggal, Sang Pencipta Roh.

Punden Berundak tersebut berada di luar wilayah permukiman masyarakat Baduy sekarang ini. Konon dahulu kala, mereka tinggal di dekat pepunden tersebut. Namun karena terdesak, masyarakat Baduy menyingkir dan tinggal di wilayah sekarang ini.

Namun demikian masyarakat lain di sekitar pepunden itu tetap menghormati keberadaan pepunden tersebut.

Masyarakat Baduy terus berjuang untuk melestarikan alam yang ada di sekitarnya. Mereka percaya bahwa alam yang lestari merupakan sumber kehidupan yang tak ada habisnya.

0 comments:

Post a Comment